Kita semua pasti pernah denger dan lihat istilah kata “nasi”. Nasi itu bentuknya berupa butiran dan biasanya berwarna putih. Di Indonesia, nasi itu merupakan makanan pokok yang setiap hari para masyarakat mengkonsumsinya. Terlintas dipikiran kita, “Mengapa nasi menjadi makanan pokok ?”, alasannya karena Negara Indonesia merupakan penghasil padi yang ke-3 di dunia setelah China dan India. Sehingga padi sangat mudah sekali ditemui hampir diseluruh daerah di Indonesia. Tetapi sebagian masyarakat Indonesia lainnya yang berada di pedalaman atau di pelosok daerah, jarang sekali mengkonsumsi nasi, mereka dapat mengganti nasi dengan makanan berkarbohidrat lainnya, seperti ubi jalar, kentang, jagung, gandum dan lain sebagainya.
Mari kita baca selanjutnya !!
Ehhmm,, Sim Salabimm !! ^_^
Proses dari padi menjadi nasi
Setelah padi kita panen, bulir padi (gabah) dipisahkan dari jerami padi. Pemisahan bisa dilakukan secara tradisional maupun modern, cara tradisional yaitu dengan memukulkan seikat padi ke dalam wadah yang telah disiapkan sehingga gabah pun terlepas. Atau dengan cara modern, yaitu langsung menggunakan mesin pemisah gabah. Gabah yang terlepas lalu dikumpulkan dan dijemur. Setelah kering, gabah disimpan atau dapat langsung ditumbuk/digiling. Sehingga beras terpisah dari sekam (kulit gabah). Beras inilah yang nantinya akan dijual di pasaran. Beras memiliki berbagai jenis dan warna, ada yang beras “biasa” yaitu beras yang berwarna putih agak transparan, beras inilah yang sering diproduksi dipasaran. Ada pula beras merah, beras hitam (sangat langka), ketan (beras ketan), dan ketan hitam. Proses selanjutnya, beras yang sudah kita cuci bersih lalu kita rebus dengan air. Perebusan beras sering dikenal dengan istilah “tim”. Perebusan beras dengan air yang berlebih dapat menjadi bubur. Setelah direbus, lalu di tanak didalam wadah yang disebut dandang. Penanakan diperlukan untuk membangkitkan aroma nasi dan membuatnya lebih lunak. Lamanya proses penanakan kurang lebih 30 menit. Nasi pun siap dihidangkan.
Tidak hanya menjadi nasi, beras pun bisa kita olah menjadi hidangan yang melezatkan, seperti pada saat pengukusan beras, bisa dilakukan dengan pembungkusan, misalnya dengan anyaman daun kelapa muda menjadi ketupat, dengan daun pisang atau plastik menjadi lontong atau sebagainya. Selain itu, beras juga bisa sebagai bahan pembuat kue-kue, utamanya sih dari ketan, termasuk pula untuk dijadikan tapai. Nah, ada lagi nih minuman yang populer dari olahan beras yaitu jamu beras kencur, arak dan air tajin. Dan juga obat balur untuk mengurangi rasa pegal (param).
Selain beras, nasi pun bisa kita olah menjadi berbagai hidangan lain yang menarik dan juga tidak akan mengurangi bahkan akan menambah cita rasa nasi tersebut, olahannya itu seperti yang sering kita coba di rumah, atau di jajaran pasar, bahkan di pinggir jalan diantaranya ada yang diolah menjadi nasi rames, nasi kuning, nasi uduk, nasi timbel, nasi goreng, dan nasi-nasi lainnya.
Simakk lagi yaaa !!!...
Si Abrak ketabrakk gubraaakk .. ^_^
• Nasi Rames...
Nasi rames adalah nasi putih biasa yang biasanya di padu padakan dengan beraneka macam lauk-pauk. Atau bisa disebut dengan nasi campur. Eemm..kita dapat menikmati nasi rames ini sesuai dengan selera kita. Ya tentu aja aneka lauk pauk itu tergantung dari warung atau rumah makan yang menyediakannya. Masakan ini sering dijual dengan menggunakan bungkus kertas atau daun pisang.
• Nasi Kuning...
Berbeda dengan nasi rames, Nasi kuning itu terbuat dari beras yang dimasak bersama dengan kunyit serta santan dan rempah-rempah. Nasi kuning adalah salah satu variasi dari nasi putih yang sering digunakan sebagai tumpeng. Dalam tradisi Indonesia warna nasi kuning melambangkan gunung emas yang bermakna kekayaan, kemakmuran serta moral yang luhur. Oleh sebab itu nasi kuning sering disajikan pada peristiwa syukuran dan peristiwa-peristiwa gembira seperti kelahiran, pernikahan dan tunangan. Dalam tradisi Bali, warna kuning adalah salah satu dari empat warna keramat yang ada, disamping putih, merah dan hitam. Oleh karena itu, nasi kuning sering dijadikan sajian pada upacara kuningan.
• Nasi Uduk...
Lain lagi halnya dengan nasi uduk, makanan yang berbahan dasar nasi putih ini diaron dan dikukus dengan santan dari kelapa yang diparut, serta dibumbui dengan berbagai macam rempah-rempah khas Indonesia. Nasi uduk memiliki aroma yang khas dan biasanya banyak dijual pada pagi hari.
• Nasi Tiwul...
Tiwul, atau Thiwul adalah makanan pokok pengganti nasi, beras yang dibuat dari ketela pohon atau singkong. Penduduk Pegunungan Kidul (Pacitan, Wonogiri, Gunung Kidul) dikenal mengkonsumsi jenis makanan ini sehari-hari.
Tiwul dibuat dari gaplek. Sebagai makanan pokok, kandungan kalorinya lebih rendah daripada beras namun cukup memenuhi sebagai bahan makanan pengganti beras. Tiwul dipercaya mencegah penyakit maag, perut keroncongan, dan lain sebagainya. Tiwul pernah digunakan untuk makanan pokok sebagian penduduk Indonesia pada masa penjajahan Jepang.
• Nasi Goreng...
Nah, untuk makanan yang satu ini nihh, banyak banget dijumpai, dimana-mana banyak yang jual. Bahkan sering juga dibuat oleh para mama-mama yang hobinya memasak di rumah. Emm.... nyammi...
Oh yaa, ternyata nasi goreng merupakan komponen yang sangat penting dari masakan tradisional Thionghoa lohh !. Menurut catatan sejarah, nasi goreng sudah mulai ada sejak 4000 SM. Nasi goreng kemudian tersebar ke Asia Tenggara dibawa oleh perantau-perantau Tionghoa yang menetap di sana dan menciptakan nasi goreng khas lokal yang didasarkan atas perbedaan bumbu-bumbu dan cara menggoreng. Nasi goreng sebenarnya muncul dari beberapa sifat dalam kebudayaan Tionghoa, yang tidak suka mencicipi makanan dingin dan juga membuang sisa makanan beberapa hari sebelumnya. Makanya, nasi yang dingin itu kemudian digoreng untuk dihidangkan kembali di meja makan untuk siap disantap.
Banyak diantara kita yang sering banget gak mau makan, bahkan sering juga membuang-buang nasi ke tempat sampah karena gak diabisin atau juga memberikannya pada bebek-bebek atau ayam-ayam yang mereka pelihara, tapi itu lebih baik daripada nasi itu dibuang begitu saja tanpa adanya rasa kasihan dan tanggung jawab. Emmmm... Sungguh malangnya nasib si nasi.
Seharusnya kita dapat berpikir berulang-ulang kali untuk membuang nasi itu. Sungguh masih banyak orang-orang diluar sana yang kelaparan, yang ingin sekali makan, tapi karena faktor finansial mereka yang kurang beruntung, jadi mereka harus menanggung segala akibatnya. Mereka harus terus mencari dan mencari uang setiap hari hanya untuk membeli nasi atau makanan yang lainnya yang bisa mereka dapatkan dari hasil keringat mereka. Mereka yang dapat makan dengan nasi dan lauk yang apa adanya pun itu sudah merupakan santapan istimewa untuk mereka. Bahkan mereka tak jarang memunguti nasi dan makanan lainnya dari tempat-tempat kotor dan tak layak untuk mereka.
Karena faktor kemiskinan inilah, sehingga mereka sering membuat nasi aking yaitu makanan yang berasal dari sisa-sisa nasi yang tak termakan yang dibersihkan dan dikeringkan di terik matahari. Nasi aking biasanya dijual sebagai makanan unggas. Tetapi belakangan masyarakat pun mulai mengkonsumsi nasi aking. Nasi aking bukanlah makanan yang layak dikonsumsi manusia; berwarna coklat dan dipenuhi jamur. Namun, masyarakat kelas bawah menjadikannya sebagai makanan pokok pengganti nasi karena tak mampu membeli beras. Untuk menghilangkan bau, nasi aking terlebih dahulu dipisahkan dari kotoran, dicuci, dijemur, lalu diberi kunyit untuk mengurangi rasa asam akibat jamur yang tertinggal.
Mari kita baca dan renungkan berita-berita dibawah ini !!
Fenomena Nasi Aking dalam Potret Kemiskinan
Tajuk Suara Merdeka, Senin, 18 September 2006
- Akhir-akhir ini fenomena nasi aking muncul dalam pemberitaan di media massa. Warga di beberapa daerah mulai mengonsumsi hasil pengeringan nasi, yang ditanak lagi itu. Antara lain dialami oleh nelayan di wilayah Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes. Kemungkinan besar kasus serupa juga terjadi di daerah-daerah lain, tetapi tidak atau belum terjangkau media massa. Fenomena nasi aking sangat
memprihatinkan, karena selama ini dikenal sebagai pakan bebek. Jika pakan binatang sudah diambil alih oleh manusia, apalagi penyebabnya kalau bukan kemiskinan? Keterpaksaan oleh keadaanlah yang membuat mereka tidak lagi segan atau malu.
- Kasus nasi aking di Brebes itu hanya merupakan gambaran kecil dari nestapa kemiskinan, yang melingkupi para nelayan di kawasan pantai utara. Pendapatan mereka rata-rata hanya Rp 3.000-Rp 5.000 per hari. Bandingkanlah dengan harga beras yang telah mencapai Rp 4.500 lebih untuk kualitas medium atau layak konsumsi. Padahal, dalam setahun mereka akan mengalami musim paceklik, karena tak bisa melaut selama hampir enam bulan. Sejak Juli lalu, para nelayan, yang sebagian besar berkategori tradisional itu, tidak bisa melaut, karena musim memasuki angin barat, yang ditandai oleh ombak tinggi dan besar. Berarti mereka tidak memiliki penghasilan.
- Tak mengherankan jika kemudian mereka mengonsumsi nasi aking. Bahan pangan tersebut bisa diperoleh seharga Rp 1.000/kg. Para nelayan itu mengatakan, nasi aking lebih mengenyangkan ketimbang nasi jagung, yang harganya tak terpaut banyak. Dalam keadaan tidak ada pemasukan untuk membeli nasi aking pun, kalau bukan menjual barang-barang berharga yang masih tersisa, tentu mengutang kepada tetangga atau penjualnya. Sungguh kenyataan yang mengenaskan. Namun, jika menoleh ke belakang, kita akan bisa memaklumi keadaan semacam itu. Kenaikan harga BBM tahun lalu merontokkan daya beli kaum miskin, termasuk nelayan.
- Penanganan untuk mengentaskan kaum miskin dari kemiskinan, yang dilakukan sejak beberapa waktu lalu, sejauh ini masih dipertanyakan efektivitasnya. Mulai jaring pengaman sosial (JPS) hingga subsidi langsung tunai (SLT) seolah-olah menguap begitu saja. Program-program yang dimaksudkan untuk membantu orang miskin itu justru menimbulkan dampak tak sedap berupa penyelewengan. Sejak awal, upaya tersebut memang diragukan oleh berbagai pihak, karena sifatnya lebih sebagai memberi ikan, bukan kail. Cara-cara demikian hanya akan menyebabkan makin tingginya kebergantungan kaum miskin terhadap program sejenis dari pemerintah.
- Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dari sekitar 33 juta jiwa penduduk Jateng, 7,5 juta jiwa tergolong miskin. Sekitar 3,2 juta rumah tangga miskin menerima oleh program SLT senilai Rp 1,2 juta per tahun. Dengan asumsi tiap rumah tangga terdiri atas empat jiwa, hampir 12,8 juta jiwa tersentuh oleh subsidi tersebut. Dari jumlah itu 60% merupakan kategori miskin dan sangat miskin. Melihat angka-angka tersebut, kita berharap semestinya tidak terjadi fenomena mengonsumsi nasi aking. Namun, memang harus disadari, kemiskinan bukan sekadar angka. Standar yang lemah dan pendataan yang kurang valid bisa menyebabkan banyak yang lolos.
- Terlepas dari pro dan kontra atas jumlah orang miskin dan metode pengukurannya, kita tidak boleh berhenti berusaha mengentaskan kelompok yang kurang beruntung itu dari belitan kemiskinan. Khusus para nelayan di pantai utara, ada yang menyebutkan kemiskinan telah menjadi “budaya”. Untuk memutus lingkaran kemiskinan itu, dibutuhkan program-program semacam pendidikan, pelatihan-pelatihan keterampilan, serta dibantu permodalan. Lewat langkah tersebut diharapkan kemiskinan tidak lagi diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Pengalaman selama ini, program yang bersifat charity sulit diharapkan bisa menuntaskan.
Nasi Aking Kembali Dikonsumsi
Rabu, 27 Desember, 2006 oleh: Siswono
Nasi Aking Kembali Dikonsumsi
Gizi.net - Mahalnya harga beras di pasaran membuat sebagian warga Kabupaten Serang, Provinsi Banten, kembali mengonsumsi nasi yang dikeringkan atau sering disebut nasi aking. Memakan nasi aking sudah menjadi kebiasaan sebagian warga, terutama pada saat musim paceklik tiba.
Salah satunya adalah warga di Kecamatan Kasemen di sebelah utara Kota Serang, ibu kota Provinsi Banten. Meski jaraknya hanya lima sampai 15 kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Serang dan Provinsi Banten, warga di daerah ini masih terbiasa memakan nasi aking sebagai alternatif saat musim paceklik tiba. Nasi aking adalah nasi sisa yang dikeringkan yang kemudian dimasak lagi.
Sedikitnya ada empat desa yang warganya masih mengonsumsi nasi aking, yaitu Desa Kilasah, Sawah Luhur, Margaluyu, dan Banten. Sebagian warga di desa itu terpaksa memakan nasi aking karena tidak mampu membeli beras yang harganya mencapai Rp 4.400-Rp 5.000 per kilogram.
Salah satunya adalah Munasamah, warga Desa Kilasah. Ia mengaku mulai kembali mengonsumsi nasi aking karena harga beras mahal. "Sekarang pada mulai lagi makan aking. Sesekali kalau lagi enggak kebeli beras. Bagi-bagi sama bebek," katanya.
Selain itu, permintaan nasi aking di Sawah Luhur juga meningkat. Menurut Pidin, penjual nasi aking asal Sawah Luhur, permintaan nasi aking meningkat menyusul naiknya harga beras di pasaran. "Sekarang yang nyari ke sini banyak. Tetapi di kota-kota enggak ada yang jual. Sehari paling dapat lima kilogram. Padahal yang diperlukan bisa lebih dari 50 kilogram sehari," katanya.
Karena itu, harga nasi aking di Sawah Luhur juga naik. Untuk nasi aking kualitas baik, harga naik dari Rp 1.000 menjadi Rp 2.000. Adapun harga nasi aking dengan kualitas jelek, harga naik dari Rp 800 menjadi Rp 1.200.
Pidin mengaku, para pembeli nasi aking berasal dari Sawah Luhur dan desa-desa di sekitarnya. Mereka terpaksa membeli nasi aking karena penghasilannya hanya cukup untuk membeli nasi aking.
Sebagian warga Sawah Luhur memang berasal dari kalangan ekonomi lemah. Ariyani misalnya. Sehari-hari ayah lima anak ini mendapatkan penghasilan dari mencari kepiting, rata-rata Rp 5.000. Itu pun tidak setiap hari didapat. "Kadang-kadang malah cuma dapat Rp 2.000 sehari. Hari ini saja cuma dapat empat, kecil-kecil lagi," ujarnya.
Selain dari membeli, sebagian warga mendapatkan nasi aking dari sisa makanan yang dikonsumsinya.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi Banten mencoba menekan harga beras dengan melakukan operasi pasar dan menetapkan harga eceran tertinggi beras sebesar Rp 4.400. Selain itu, menurut Kepala Biro Perekonomian Iin Mansyur, pihaknya juga akan menyegerakan pembagian beras untuk rakyat miskin. (nta)
Sumber: http://www.kompas.com/
Ratusan Warga Jakarta Makan Nasi Aking
Selasa, 27 Juli 2010 - 1:24 WIB
MARUNDA (Pos Kota) – Di tengah kemegahan gedung pencakar langit dan gemerlap kehidupan, Jakarta tak lagi menjadi tumpuan harapan untuk mengubah hidup. Karena kini kemiskinan mendera sebagian warga di Ibukota. Di Jakarta Utara misalnya, setiap hari puluhan orang memakan nasi aking.
Ratusan warga Jakarta Utara kini hidup di bawah garis kemiskinan. Yang nyata saja, untuk makan sehari-hari saja terpaksa mencari nasi bekas sisa karyawan Kawasan Berikat Nusantara (KBN), Cakung, Sukapura, Cilincing. Sedikitnya ada sekitar 30 warga miskin mengomsumsi nasi aking.
Keterpaksaan mereka mengais sisa nasi bekas karena memang tidak mampu membeli beras untuk makan sehari-hari. “Nasi yang saya kumpulkan ini selain untuk makan sehari-hari, juga dibikin nasi aking juga untuk dimakan dan sebagian lagi kami jual ke warga lainnya,” jelas Ijah, warga Kampung Sawah, Semper Timur, Cilincing, yang tengah mengumpulkan nasi bekas di KBN Cakung.
Diakui wanita berusia 40 tahun ini, dirinya mencari nasi sisa karyawan KBN itu sejak delapan tahun silam. Nasi bekas yang dikumpulkan dijemur, setelah telah kering sebagian dikomsumsi dan sebagian lainnya dijual untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Ada juga untuk makan bebek.
Untuk memasak nasi aking itu kata Ijak tidaklah sulit hanya membutuhkan waktu setengah jam, nasi itu langsung dapat disantap. “Setelah kita kukus selama setengah jam nasi itu bisa kita nikmati,” ungkap istri Usep asal Cianjur, Jawa Barat sambil menggandeng anak bungsunya, Zahwa yang berumur 5 tahun.
Pengakuan Ijah, untuk mendapatkan nasi sisa itu tidaklah gampang. Dirinya harus kucing-kucingan dengan petugas keamanan KBN. Pasalnya, jika masuk dan dilihat petugas mereka akan ditangkap dan diusir dari lokasi tersebut. “Saya lihat kelengahan petugas dulu. Kalau aman saya baru masuk bersama kawan-kawan. Begitu juga saat keluar, kami jika harus lihat jam-jam tertentu. Memasuki kawasan bisa pagi, siang dan terkadang malam saat para karyawan kerja lembur,” ucapnya.
Dalam sehari menurut Ijah dirinya mampu mengumpulkan nasi bekas makan karyawan 10 kg hingga 20 kg. Biasanya nasi yang sudah terkumpul itu oleh wanita yang mengaku ngontrak di Kampung Sawah Rp200ribu/bulan itu dipilah-pilah.
Nasi yang yang masih bagus dibawa pulang untuk dimakan bersama keluarganya, atau dijemur sebagai nasi aking untuk di komsumsi sehari-hari maupun dijual. Sedangkan nasi yang sudah terkena sayur biasanya dijual untuk makanan bebek. “Saya makan nasi aking sejak enam tahun lalu,” jelas ibu sembilan anak itu blak-blakan. Bahkan saking susanya, dari sembilan anaknya itu hanya satu orang yang sekolah. Yang lainnya putus sekolah.
Dapat Raskin
Hal senada diakui Eti, warga Kampung Sawah, Semper Timur. Wanita 43 tahun asal Wadas, Karawang, Jawa Barat itu mengaku mengumpulkan nasi bekas untuk nasi aking untuk makan sekeluarga atau dijual.
“Saya juga sejak delapan tahun lalu mengumpulkan nasi bekas sisa karyawan KBN. Jika nasi masih bagus sesampainya di rumah langsung saya makan atau dijemur untuk dijadikan nasi aking,” ujar ibu empat anak itu.
Eti mengakui memang dirinya mendapat jatah raskin (beras miskin) sebanyak 5 kilogram. Namun, beras itu harus beli seharga Rp1.600/kg. “Kalau tidak ada duit saya kan gak bisa beli, jadi saya terpaksa mencari nasi sisa makanan karyawan KBN,” jelasnya.
Bisnis Nasi Aking
Lain lagi dengan Rosiati. Wanita 55 tahun yang hidup sebatangkara ini selain menjadi tukang sapu di kawasan KBN Cakung dia juga mengumpulkan nasi bekas untuk nasi aking. Diakui, gaji yang dia dapat per bulan tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Untuk menutupi kebutuhan itu, ibu dua anak tersebut terpaksa di sela-sela membersihkan di lokasi dia juga mengumpulkan nasi sisa- makanan karyawan KBN. “Hasilnya lumayan, setiap hari rata-rata saya mendapat uang Rp20 hingga Rp30 ribu. Uang itu saya gunakan kebutuhan sehari-hari dan sisanya ditabung,” jelas ibu asal Pemalang, Jawa Tengah tersebut.
Dia mengakui gaji yang dia dapat dari hasil kerja tukang sapu di KBN Rp600/bulan tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Kontrakan saya sebulan Rp200 ribu,” tutur Rosiati yang tinggal di daerah Sukapura, Cilincing itu.
Hidup di bawah kemiskinan juga dirasakan Dariah, 33 warga Kkampung Sawah Blok H. Dia terpaksa mengajak tiga anaknya Zainal, 11, Rosiana,10 dan Rizal untuk mencari nasi bekas di kawasan KBN. Untuk makan dan dijual. “Lumayan pak untuk tambah-tambahan sehari-hari dan membantu suami,” jelas Dariah saat ditemui di kawasan KBN.
Lurah Semper Timur Prawitno, mengaku belum mengetahui secara pasti soal banyaknya warga Kampung Sawah yang mengomsumsi nasi aking. Dia berjanji akan mengecek ke lokasi. “Saya akan cek kebenaran informasi tersebut. Jika itu benar kami akan memberi bantuan, “ janjinya.
Secara terpisah, Iman Satria, Anggota Komisi E DPRD DKI, mendesak Pemprov DKI untuk segera menindaklanjuti temuan tersebut. Pasalnya jika tidak maka akan berdampak sosial yang cukup luas. “Ironis di tengah gemerlap metropolitan, warga Jakarta masih ada yang mengais sisa makanan,” ujar politisi Partai Gerindra ini.
Iman menambahkan, bahwa kejadian ini jelas menampar wajah pemprov. “Ini bukti tidak berjalannya program jaminan keluarga miskin yang saat ini tengah digadangkan Pemprov DKI.” tegasnya. “Kondisi ini tidak akan terjadi jika pejabat di tingkat kelurahan peduli dengan warganya.”
Kanto Baru TNP2K
Sementara itu, Wakil Presiden Boediono, Senin (26/7) memberikan kantor baru kepada TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan), letaknya di belakang Istana Wapres, yakni di Gedung Grand, Jl Kebon Sirih, Jakarta Pusat. “Kantor sengaja ditempatkan berdekatan dengan Istana Wapres untuk memungkinkannya komunikasi dengan mudah,” kata Wapres selaku Ketua TNP2K.
Wapres mengatakan, TNP2K nantinya akan bekerja secara serius untuk melaksanakan program penanggulangan kemiskinan. Tim diminta mensistematisasikan program-program tersebut dengan tema, sasaran, dan implementasi yang baik. “Saya minta ada pemikiran-pemikiran yang benar-benar bisa memperbaiki kebijakan, tidak teoritis tapi langsung bisa memperbaiki,” katanya. (wandi/ johara/guruh/B)
Resep Nasi Aking / Masakan Nasi Basi Yang Tidak Enak Dan Bergizi Rendah
Fri, 17/08/2007 - 12:24pm — godam64
Nasi aking adalah makanan khas orang Indonesia yang sedang kelaparan karena dana anggaran yang seharusnya digunakan untuk membiayai rakyat miskin sesuai dengan undang-undang dasar 1945 yang bunyinya "fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara" namun karena minimnya nggaran bagi mereka maka jadinya "fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh jalanan".
Jika pimpinan negara kita orang yang kreatif dan berani maka Indonesia sudah pasti bisa keluar dari krisis ekonomi yang terus menjerat kita bertahun-tahun. nasi aking pun jadi makanan sehari-hari warga miskin finansial yang pada umumnya tidak tahu harus berbuat apa karena memang memiliki ilmu pengetahuan dan kreatifitas yang rendah untuk bisa keluar dari jebakan setan yang mereka hadapi.
Kalau tidak salah nasi aking yang merupakan nasi basi sisa bekas makan orang atau yang tidak terjual dikeringkan pada sinar matahari hingga cukup kering. Dalam prosesnya memang nasi aking adalah nasi yang kotor karena sudah terkena debu, jamur serta kerikil / pasir. Nasi aking bukan dari beras aking, namun beras biasa. Nasi aking dulu digunakan untuk makanan unggas, namun karena daya beli menurun dan kepepet, maka orang mulai memakannya.
Nasi basi biasanya dibersihkan dari sayur dan lauk sisa, dicuci lalu diberi kunyit untuk mengurangi rasa asam karena efek penjamuran yang terjadi. Untuk memasak tinggal rebus saja dengan berbagai bumbu yang tersedia di alam sekitar (biasanya orang yang makan aking tidak punya uang untuk beli bumbu masak). setelah dididihkan beberapa menit dan nasi sudah cukup empuk maka nasi aking siap untuk dihidangkan bersama lauk seadanya seperti garam, sambal, kecap, umbi-umbian, ketela, daun-daunan dan lain sebagainya. Selamat menikmati santapan nasi basi.
Sebaiknya nasi aking dijadikan makanan untuk koruptor yang tertangkap agar mereka merasakan penderitaan rakyat yang mereka abaikan. Orang-orang kaya pelit pun harus mencoba makanan yang satu ini agar tersadar dari nikmat dunia yang dipeluk erat-erat tak mau berbagai dengan sesama manusia. Selain nasi aking juga ada roti buluk yang sudah berjamur untuk selingan nasi aking.
Bagi teman-teman yang sudah sering mengolah nasi aking menjadi makanan yang siap disantap manusia silahkan tulis resepnya.
╤
Dari keempat berita atau informasi diatas, memberikan kesimpulan kepada saya, bahwa adanya nasi aking dilatarbelakangi oleh faktor kemiskinan, naiknya harga sembako, terutama beras, tidak tercukupnya kebutuhan sehari-hari karena gaji kecil dan minimnya skill/kemampuan yang dimiliki sehingga tidak dapat memperoleh pekerjaan yang layak dan terjamin, serta kurangnya pemberian bantuan dana dari pemerintah setempat.
Demikianlah artikel ini saya buat , semoga kita dapat mengambil manfaat yang terkandung didalamnya. Serta tak lupa kita berdo’a bersama-sama agar negara tercinta kita ini dapat menjadi negara yang maju , makmur dan berdedikasi tinggi.
Wassalam ..
Daftar pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Beras#Macam_dan_warna_beras
http://id.wikipedia.org/wiki/Padi
http://id.wikipedia.org/wiki/Nasi
http://id.wikipedia.org/wiki/Nasi_rames
http://id.wikipedia.org/wiki/Nasi_kuning
http://id.wikipedia.org/wiki/Nasi_uduk
http://id.wikipedia.org/wiki/Nasi_tiwul
http://id.wikipedia.org/wiki/Nasi_goreng
http://id.wikipedia.org/wiki/Nasi_aking
http://opini.wordpress.com/2006/09/18/fenomena-nasi-aking-dalam-potret-kemiskinan/
http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1167117871,45022,
http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2010/07/27/ratusan-warga-jakarta-makan-nasi-aking
Tidak ada komentar:
Posting Komentar